Sabtu, 08 Oktober 2011

Story Pudding : Surat Cinta Kadaluarsa

Bertahun-tahun pria muda itu hanya berani menatap dari kejauhan wajah gadis yang telah menjerat hatinya. Iya, bertahun-tahun. Semenjak gadis itu masih berusia anak-anak dan duduk di Sekolah Dasar. Ketika dia masih bermain congklak di halaman toko kelontong milik si pria, atau ketika dia bermain bola kasti di halaman sekolah yang terletak berseberangan dengan toko kelontongnya.



Gadis kecil itu berusia 6 tahun lebih muda. Karena itu si pria muda belum berani mendekatinya. Dia cukup menikmati keindahan itu dari kejauhan dan menikmati rasa cinta yang menyelinap diam-diam ke liang hatinya. Hingga ketika rasa cinta itu tak tertahankan lagi, si pria muda menumpahkannya pada sepucuk surat. Tapi, dia tetap tak berani menyerahkan surat itu pada si gadis. Surat itu tersimpan rapi didalam sebuah kotak dan kotak itu dikunci dalam sebuah lemari.

Bertahun-tahun kemudian, ketika si gadis kecil beranjak remaja dan tidak lagi sekolah di SD di depan toko kelontong, si pria muda mulai mencari jalan lain untuk tetap bisa memandang wajah si gadis. Si pria yang ketua sebuah organisasi selalu mengundang si gadis untuk menghadiri setiap acara organisasi yang dia pimpin. Jika si gadis datang, dia akan leluasa menikmati wajah cantiknya. Meski hanya dari balik punggung orang-orang, atau dari balik pintu. Dia masih saja belum berani menegur, menyapa apalagi duduk didekatnya. Dia tetap saja memandang dari jauh.


"....mestinya aku berdiri, melangkah ke depanmu
kusapa....dan kunikmati wajahmu...
atau kuisyaratkan cinta....
tapi semua tak kulakukan...."
*(1)

Atau kadangkala, si pria muda, dengan beribu alasan yang kadang tidak masuk akal, datang kerumah si gadis. Pura-pura habis dari berjalan jauh, lalu meminta minum. Atau pura-pura meminta sumbangan untuk kepentingan organisasai, atau apa saja.... Yang penting ada waktu walau sedetik untuk menikmati wajah si gadis. Tapi sayangnya, gadis itu terlalu lugu mengerti...............

Ketika cinta si pria muda sudah meluap-luap tak terbendung, dia lalu mendatangi paman si gadis. Mengutarakan niat hendak memperistri keponakannya. Si paman yang menyambut dengan antusias, segera menyampaikan pada ayah si gadis. Dan gayungpun bersambut.

Tapi, bagaimana reaksi si gadis?

"Aku tidak mau, Ayah. Dia anak orang kaya. Tidak sepadan dengan kita. Dia mungkin hanya main-main."

Si Ayah lalu mendatangi si pemuda dan bertanya:

"Kamu keturunan orang kaya dan terpandang, Anak muda. Banyak yang ingin bermenantukan dirimu. Sedangkan kami orang miskin. Apakah kamu sungguh-sungguh ingin menikahi putriku? Ingat, dia anakku satu-satunya. Tak kan kuijinkan sesuatu yang buruk menimpanya. Jika kau tidak sungguh-sungguh ingin membahagiakannya, batalkan niatmu"

"Aku bersungguh-sungguh, Bapak. Aku ingin menikahi putrimu," betapa inginnya dia berkata, bahwa cinta itu sudah lama ada merajai hatinya.

Maka pembicaraan itupun berlanjut menjadi perundingan antar kedua keluarga. Tapi, pernikahan itu tidaklah selancar yang diharapkan. Sebagian besar keluarga dari pihak pria tidak menyetujui pernikahan itu. Sebagian besar dari mereka menentangnya. Mereka tidak bisa menerima si gadis memasuki trah keluarga mereka yang terkenal kaya dan terpandang sejak jaman dahulu kala. Sementara si gadis yang meskipun cantik, hanyalah anak seorang petani miskin, yang dihidupi oleh emaknya dengan cara menjadi buruh tani.

Meskipun begitu, pernikahan itu tetap berlangsung. Meski tidak ada acara pesta. Hanya ada syukuran. Tidak ada foto. Hanya seadanya. Sangat prihatin. Yang penting, pernikahan (yang meskipun tidak diinginkan banyak orang) itu tetap terjadi. 

Pada malam pertama, si pria teringat akan surat cinta yang pernah dituliskannya bertahun-tahun yang lalu. Dengan gemetar dia membuka sebuah lemari tua, mengeluarkan sebentuk kotak kecil dari sana. Mengeluarkan sepucuk surat yang masih terlipat rapi. 

Si pria lalu duduk didepan istrinya:

"Istriku, mungkin engkau tak pernah tau, aku mencintaimu sejak dulu. Semenjak engkau masih memakai seragam SD-mu. Semenjak pertama aku melihat engkau bermain congklak di halaman toko-ku. Dan terimalah ini, surat cinta yang telah aku tulis untukmu sejak bertahun-tahun lalu. Semoga engkau bahagia bersamaku."

Dengan air mata haru dan bahagia yang telah berbaur menjadi satu, sang istri membaca surat cinta yang telah kadaluarsa itu.

Lalu, tahun-tahun yang sulit pun mereka lalui. Dari orang kaya menjadi sangat miskin papa. 4 orang puteri dan 1 putera pun lahir dari pernikahan mereka. Dan meski berbagai onak dan duri kehidupan bergantian merajam, mereka tetap tegar berdua, bersama saling mencinta. Membesarkan anak-anak mereka. Menangis dan tertawa bersama. Menempuh hidup bagai gelombang lautan, kadang menanjak ke puncak bahagia, kadang terjun ke jurang nestapa.

37 tahun berlalu. Sang pria yang meskipun belum terlalu tua mulai sakit-sakitan. Istrinya merawat dengan setia. Penuh cinta. Hingga suatu hari, si pria berkata:

"Istriku, sudah bertahun kita habiskan usia kita bersama. Engkau mendampingiku dalam segala suasana. Tak terkira rasa syukur-ku karena Tuhan telah menganugerahkan istri sebaik, sesabar dan secantik engkau. Aku bangga beristrikan engkau sejak hari pertama kita menikah. Engkau melahirkan 5 orang anak-anakku dengan mempertaruhkan nyawamu."

Si pria tersenyum. Istrinya yang mendengarkan ikut tersenyum.

"Mari kita berbaring, aku ingin malam ini kita mengenang masa-masa indah saat aku dilanda cinta yang dalam kepadamu. Berbaringlah memunggungiku, aku berbaring memunggungimu, hingga punggung kita saling beradu dan mengalirkan kehangatan"

Mereka berbaring dan bercerita. Ketika mengenang masa-masa indah, mereka tertawa. Ketika mengenang masa-masa susah, mereka saling menguatkan dengan saling menggenggam tangan.

"Masih ingatkah engkau, kita pernah tidak punya beras barang sebutirpun. Beras yang kau tanak hanya cukup untuk makan anak-anak kita. Ketika anak-anak berangkat sekolah, kau memasak ubi untuk kita berdua. Kita makan dalam diam. Aku sedih melihatmu yang sengsara bersamaku...."

"Tapi kita juga pernah hidup cukup berada, Pak. Jangan lupakan itu. Nanti dibilang Tuhan kita tidak bersyukur," kata istrinya.

"Iya, justru itu. Seharusnya engkau meninggalkan aku ketika kita bangkrut dulu. Tapi engkau tetap bersamaku"

"Karena aku telah bersumpah, engkau adalah satu-satunya pria yang menikahiku. Aku akan bersamamu hingga maut memisahkan kita, atau hingga engkau bosan dan meninggalkan aku. Jika kau ceraikan aku, aku tidak akan menikah lagi. Jika engkau meninggal duluan, aku juga tidak akan menikah lagi."

"Kenapa begitu?"

"Itulah sumpahku," si istri tersenyum, "lalu, kenapa Bapak tidak menikah lagi ketika hidup kita mulai membaik. Biasanya laki-laki begitu," katanya.

Suaminya tidak menjawab, dia hanya memandang wajah istrinya yang menua. Tiba-tiba mereka tertawa, menyadari betapa kuat nya cinta mereka.........

Hingga tibalah hari itu, hari yang telah dijanjikan, suatu siang di bulan September. Menjelang bulan puasa. Sang istri sedang menghangatkan sop untuk makan siang suaminya ketika si pria mengeluh sakit didadanya. Bergegas dia mendapatkan suaminya lalu memapahnya ke tempat tidur.

"Berbaringlah, Pak" kata si istri.

"Dadaku sakit, tanganku sakit. Tolong dipijiti..." si istri menurut, memijit tangan dan kaki suaminya dengan penuh kasih sayang.

"Sudah enakan, Pak?"

Si suami mengangguk. Wajahnya pucat dan keningnya berkeringat. Tiba-tiba dia berbalik, memiringkan tubuhnya ke kanan.

"La illaha illallah....." dia berucap serak, menahan sakit. Secepat itu dia kembali membalikkan tubuhnya, lalu miring ke kiri.

"La illahaillallah...." kembali dia berucap serak.

Sang istri menangis. Putri mereka yang saat itu tengah dirumah karena cuti kerja ikut menangis, kalang kabut meminta tolong tetangga untuk mengangkat bapaknya, hendak dibawa kerumah sakit. 

Tapi........

"Sudahlah, nak. Kita temani saja bapakmu........" sang istri berkata pada anak mereka, lalu menatap suaminya yang telah kembali menelentangkan tubuhnya sendiri, yang kemudian melipat kedua tangannya diatas perutnya sendiri. Matanya menatap keatas. Peluh membanjiri keningnya. Si istri sadar tengah menghadapi apa, dengan tangis yang tertahan di kerongkongan dia berkata:

"Bapak, kalau hendak pergi duluan....kalau hendak meninggalkan aku...berjalanlah yang lurus...luruskan jalanmu di jalanNya......luruslah berjalan.........." sambil terus menerus memeluk tubuh suaminya, sambil terus menyebut nama Tuhannya. Sambil berdoa.........dan menangis.

Dan Si pria menegang, mengucap nama Tuhannya, lalu mengeluarkan suara seperti mengerang yang panjang, yang berhenti bersama denyutan di jantungnya.

Si istri memeluk suaminya, meratap
"Pak, duuuuuh.....kau tinggalkan aku, kau tinggalkan aku.............??"

Tangisnya tertahan di dada. Cintanya tersimpan di dada. Takkan tergantikan hingga maut menjemput. Hingga mereka berjumpa di sorga.

Seperti sumpahnya.

Mereka adalah kedua orang tuaku tercinta. Akulah puteri ke-4 yang terlahir dari perkawinan mereka. (Sayang tidak ada foto, karena semua foto ortu-ku tertinggal di kampungku di Bukittinggi sana, suatu saat, akan ku pajang foto mereka disini, dan dikau bisa lihat, Kawans, betapa cantiknya mamaku dulu dan seperti apa wajah papaku yang pemalyu itu..hahaha...)

Kisah ini diikutsertakan pada "A Story Pudding For Wedding" yang diselenggarakan oleh Puteri Amirillis dan Nia Angga


*(1) Cuplikan lirik sebuah lagu ciptaan Ebit G Ade.

39 komentar:

  1. sumpah...sya terharu baca postinganmu kali ini Mba, kyknya ga bsa ngomong apa2 nih..

    Smoga sukses aja kontesnya...

    BalasHapus
  2. ikut terharu membacanya mbak,..
    semoga kita bisa mencontoh jejak orangtua mbak Dewi yang senantiasa menjaga pernikahan hingga ajal memisahkan,..
    gudlak buat kontesnya mbak :)

    BalasHapus
  3. Tengkyu, Bang Pendi. Saat mewawancarai mama, aku malah cekikikan karena ternyata papaku yang garang itu tidak sanggup mengatakan cinta. Lalu, ketika mama menceritakan saat dia melepas papaku ke alam baka, aku jadi...........sedih....

    Amiiin... Makasih, Bang Pendi......

    BalasHapus
  4. Amiiiinnnn..... 

    Makasih, mba Ketty

    BalasHapus
  5. sedihhhhh,love,peace and gaul.

    BalasHapus
  6. ada tisu bu.... hiks..hiks...
    ikatan yg sangat luar biasa bernama "pernikahan".
    smoga bisa menjadi teladan bagi siapapun...

    sukses bu ngontesnya... :D

    BalasHapus
  7. ikut nangis bacanya, mba.. hiks... ada tisu ga? :D
    sebuah pernikahan yang dilandasi komitmen insyaAllah langgeng ya.. aamiin 

    BalasHapus
  8. ini sekaligus menjadi contoh buat kita kita yg masih muda dlm menananmkan apa itu arti sebuah hubungan cinta yg di dasarkan pada komitmen.. makasih udah memberi teladan hehe

    BalasHapus
  9. Kisah yang sangat syahdu dan bikin saya terharu. Sebuah cinta yang sedemikian tulus dan setia.

    BalasHapus
  10. Cinta yang tulus dan tak akan pernah hilang ditelan waktu. Satu dan abadi kan selalu bersemi di dalam hati. Suka saya membacanya.

    BalasHapus
  11. Aq msih lum bisa ngerasaain cinta neh...
    Jadi nda bisa terlalu merespon ceritanya...

    BalasHapus
  12. kisah cinta orang tua kita memang selalu yang hebat yaa mbak, dan selalu kita jadikan bahan pembelajaran.. semoga kalian bisa berkumpul satu keluarga lagi di surga nanti mbak.. :)

    BalasHapus
  13. kisah cintanya mirip juga mbak sama kisah cintanya ayah dan ibuku... tapi kebalikannya. ayahku yang dari keluarga miskin.

    BalasHapus
  14. aku mau dong nikah tanpa foto-foto dan musik, mungkin dijaman sekarang cuma aku yg menolak difoto :D

    BalasHapus
  15. sungguh pembelajaran yang bagus sekali buat para anak muda jaman sekarang. Supaya lebih bisa dalam memaknai cinta dan kasih sayang.
    Hikz hikz ceritanya mengharukan sekali mbak

    BalasHapus
  16. biarpun suratnya kadaluarsa
    yang penting kan anak-anaknya ga ada yang expired
    hehe piss
    semoga sukses deh lombanya...
     

    BalasHapus
  17. duh kisah yang manis banget, terutama di adegan percakapan terakhir itu. makasih ya uni udah ikutan story pudding

    BalasHapus
  18. Sama-sama, Put...

    makasih udah dibaca..hehehe......

    BalasHapus
  19. Nggak adaaaaa..............
    Udah laku semua sebelum expired..............hihihi.......

    BalasHapus
  20. ho-oh..... Kasihan lho mamaku dulu sempat nggak dianggap. Kayak cerita di sinetron-sinetron aja............ :D

    BalasHapus
  21. yah...jangan nggak difoto dong... Kana ntar anak-anak kita mau liat juga foto nikah ortunya.

    Kayak aku nih, suka komplen sama mama, kenapa sih, nggak ada foto sama sekali... Kan nggak ada saksi memorinya... *halah*

    Kenapa dirimu nggak mau difoto, R10? :D

    BalasHapus
  22. wah...kisah cinta ortu kita kayak sinetron ya, Nuel...?hihihi.........
    Ikutan di "Story Pudding" juga kah?

    BalasHapus
  23. Amiiinn..amiinnn...

    Makasih, Dhe.... Saya emang salut liat mereka :)

    BalasHapus
  24. Waaahhhh....kasihan banget Ahong....

    Paling tidak, kan udah pernah merasakan cinta dari ortu.. :)

    BalasHapus
  25. Saya suka komenternya :)
    Top!

    BalasHapus
  26. ya..ya..ya.....meski penuh penderitaan. Dahulu kala, ibu dan bapak saya bener-bener hidup sengsara. Tak sanggup aku menceritakannya :)

    Makasih Mas Alam.......

    BalasHapus
  27. Makasih sudah memberikan komentar yang indah ini......

    BalasHapus
  28. Nggak ada tisu, pake ujung sarung aja ya............??

    Betul banget. Menikah karena Allah dan mencinta karena Allah *berat nih bahasanya*
    Insya Allah langgeng........

    BalasHapus
  29. nggak ada, Mab. Udah habis dipake Ila Rizki........ *ssstt...padahal si Ila ngelap pake sarung*

    Amiin... makasih, Mab.

    BalasHapus
  30. love, peace and gaul juga............

    BalasHapus
  31. So sweet, Jeng.. *lap pipi pake tisu sendiri, daripada ntar disodorin sarung :P*

    Jatuh cinta dari ibu masih SD ya, first love become true love kayaknya ;>


    Mudah-mudahan keluarga anak-anaknya juga selanggeng orang tua mereka ya, amin ^_^

    BalasHapus
  32. Mbak Dewi, setahun saya mencoba tegar dengan apa yang kami hadapi, tapi membaca postiingan ini sungguh tak sanggup ku menahan.
    Innalilahi wa innailaihi rojiuun. Sungguh, cinta tak harus menangis, tapi rindu dan ketabahan adalah hal yang berbeda.

    BalasHapus
  33. wah asyik yach masih ada mama yang bisa diwawancara dan akhirnya jadi postingan yang indah dan menyentuh ini....bener2 terharu bacanya....ternyata perjuangan cinta orangtuanya kayak di sinetron yachhh...ngga direstui karena perbedaan kasta....

    smoga sukses di kontesnya yachh...cie udah jadi ratu kontes nech sekarang......postingan utk kontesnya keren2 euuy

    BalasHapus
  34. hahaha..... hihiihi............ sarungku wangi kok, Jeng.. Don wori bi hepi lah....

    Sepertinya begitu.
    Tapi anak-anaknya nggak seberuntung itu. Kakakku yang paling tua malah ditinggal kawin sama suaminya :(

    BalasHapus
  35. Aduh, Abi. Maafkan kalau malah membuat dirimu terkenang almarhumah. Percayalah, Allah juga menyayanginya dan punya rencana indah untuk kalian berdua.

    Pasti sulit menghadapinya, Abi. Aku melihat sendiri betapa terpuruknya mamaku sepeninggal papa. Berat badannya langsung merosot turun dan penyakit langsung datang silih berganti. Aku takkan bisa memberikan nasehat apa-apa untuk orang-orang yang ditinggalkan selamanya oleh soulmate-nya karena aku belum mengalaminya sendiri. Tapi percayalah Abi. Tuhan selalu bersama kalian, laluilah semua ini dengan tegar dan tabah. Apapun yang diberikan Tuhan pada kita adalah yang terbaik.

    Yang sabar ya, Abi...

    BalasHapus
  36. Susah Jeng mewawancarainya. Pake nanya: untuk apa? Ngapain mau tau? Mau bikin apa?
    jiaaaaahhh...si mama sok selebritis deh. Tapi akhirnya keluar juga kisah itu.

    Tengkyu, Jeng. Semenjak bersamamu dalam K3W itu, aku ikut ketularan jadi banci kontes hihi....

    BalasHapus
  37. Mba Deeew, tanggung jawab ah, kacamataku mengembun neeeh, hiks...mengharukan sekali...

    Gudlak ngontesnya ya mba ;)

    BalasHapus
  38. Lap dulu, Rin *nyodorin ujung sarung*

    Makasih, Sayang...

    BalasHapus
  39. Waaaa kereeen mbaaak. :)
    Semoga menang yaaaa...

    BalasHapus

Yang cakep pasti komen, yang komen pasti cakep..

Tapi maaf ya, komentar nggak nyambung akan dihapus :)
Terima kasih...