Senandung Rindu bersama Ririe

Ketika menjelajah blog Ririe Khayan disebuah sore bergerimis *halagghhh..* aku terpaku memandang judul puisi ini:

Senandung Rindu..

Aku menduga, yang tertulis disana pastilah serupa bisikan hatiku yang sedang rindu. Aku rindu masa lalu,  rindu ayahku, rindu rumah putih ku, rindu pada masa indah dulu, ketika jiwa hanya diisi madu, saat hati tidak pernah merisaukan tagihan listrik dan kredit rumah *kehilangan fokus, as always.. :D* apalagi, aku membaca puisi itu seirama rinai hujan, maka terjadilah:

Kenangan redup yang membangkit

bersenyawa dengan partikel – parikel udara

Mengungkit haru rintihan hati

dan membentangkan sayap-sayap lara perpisahan

Yang tlah teranyam dalam bingkai masa lalu.

Hatikupun bergerimis, Ririe membuat puisi ini untukku. Aku yakin itu :P

Tapi tetap saja lekat

Diorama hati yang menangis kala melihat langkahmu

yang jauh dan semakin menjauh ketika itu

ya..ya..ya... aku masih ingat malam itu, dibawah temaram lampu jalanan dan hujan yang membasahi, kami berdiri berhadapan dalam sunyi, saling menjabat tangan dan mengucapkan kata yang sama: "semoga kau bahagia, meski tidak bersamaku..." Lalu aku berlalu. Dia menatap langkahku yang menjauh, dan aku menatap cintanya yang makin jauh....

Adalah tawa dan luka yang bersenggama mesra,

duka yang mencabik segenap saraf sukma

dan palung kesunyian yang menghunjam di relung sanubari

Yah, duka yang mencabik, sunyi yang pekat membungkus hatiku kala itu. Seribu tangispun tak sanggup mengenyahkan kesedihan itu. Itu masa-masa yang buruk. Masa-masa yang tak terlupakan. Mendatangkan sakit tak terperi, merobek luka di sepanjang hati

Salam perpisahanmu kepada ‘sgala kehangatan asmara

Dalam sendiri, dawai kerinduan itu kadang mash berdenting

bergema di ruangan nurani meski tak lagi seindah dulu

Duh, Ririe.. Mengapa kau buat puisi ini yang dengan sangat kebetulan melukai hatiku lagi? Memang sulit menghapus kenangan. Meski kenangan itu menyakitkan. Dan yah, aku masih tetap terkenang..meski sakitnya sudah jauh berkurang...

Sementara bayangmu pun kian memudar dan kabur

Diantara tautan harap dan kenyataan.

Aku sudah tidak berharap, Rie. Karena tidak mungkin berharap lagi. Dia sudah bahagia bersama seseorang, dan aku sedang berusaha untuk  bahagia bersama seseorang . Tidak boleh berharap lagi. Karena kenyataan sudah menutup pintu harapan itu........

“Tulisan ini diikutsertakan dalam: 
“Giveaway Kidung Kinanthi: Kata dalam Puisi” 

Note: total kata (jika termasuk puisi) = 333. 

Angka yang indah, bukan? :D