Suatu Malam di Rumah Putih

Malam itu, kita duduk berdua di sana, di sebuah bangku panjang di depan rumah putih kita. Kita saling diam sambil menatap ke arah timur, dimana jalan berkelok dan bersimpang. Jalan yang sunyi dan muram, tak ada seorangpun disana, hanya rerumputan yang bergoyang lembut ditiup angin. 

Di depan kita, halaman rumah terasa dingin. Tanah, bunga dan daun sama-sama berwarna gelap. Aku bagai terkurung antara ingin menangis atau tersenyum... Aku merasa sepi, sangat sepi..

Minjam

Disebelah kananmu ini, aku duduk membisu sambil mamandangimu. Kau kenakan baju safari hitam dan peci berwarna sama. Kaki kananmu kau tumpangkan diatas kaki kiri. Kau terlihat necis seperti biasa. Kau juga ganteng dengan kacamata dan kumis tipismu. Kau duduk tenang, masih menatap ke arah timur. Ke arah kelokan jalan bersimpang, seolah kau sedang menunggu seseorang.

Aku gelisah, kenapa kau tak mau menatapku? Kenapa kau membisu? Kenapa tidak mengacak-acak rambutku seperti dulu? Kenapa tidak memencet hidungku? Kenapa kau mengabaikanku seolah di bangku panjang ini kau hanya duduk sendiri? 

Dan,

Malam itu, rumah putih kita semakin terasa sunyi. Aku tidak mengerti mengapa hanya ada kita berdua di luar sini? Aku ingin mengajakmu masuk, tapi sungguh tidak berani. Aku ingin bertanya; tidakkah kau merasakan dinginnya angin yang ditiupkan malam? Tapi aku tak bernyali.

Bah, mengapa pula aku harus memikirkan angin, bukankah duduk berdua bersamamu adalah hal terindah? Lagipula, sudah lama kita tidak duduk berdua, menghabiskan malam di bawah sinar bulan yang temaram. 

Biarkan saja angin dingin mengusik kita, tetaplah di sini bersamaku. Menemani hatiku yang digulung rindu, menyerpihnya di dalam sepi...

Ayah....

Malam itu, aku memimpikanmu lagi..

Bagaimana keadaanmu kini? Baik baikkah kau disana? 

Semoga kau bahagia bersama-Nya, dekat disisi-Nya. 

Dan aku akan tetap disini, bermimpi itu lagi..dan lagi 

Karena, ...aku selalu rindu padamu......